Anak Laki-Laki Ibu (Cerpen Luzi Diamana)

iklan 1

iklan 1

Entri yang Diunggulkan

HILANG KE LIANG

Sajak: Luzi Diamanda Bumi meminta anaknya kembali ke pelukan hilang, ke liang.. kala cangkul meratakan tanah akhir bersama rapal doa-doa men...

Anak Laki-Laki Ibu (Cerpen Luzi Diamana)

Luzi Diamanda
Rabu, 20 Juni 2012

 Foto Ilustrasi dari Internet

BERUNTUNGLAH dua kakak laki-laki saya, Binuang dan Bintang, serta adik laki-laki saya, Bugih. Mereka memiliki raut wajah ibu, bulat dan seolah selalu tersenyum. Tak cuma itu, kulit mereka pun kuning langsat, yang jelas-jelas turunan ibu. Celakalah nasib saya, menyalin raut wajah bapak. Padahal, jika dibanding, pasti tak kalah tampan dari mereka. Dan pendapat saya ini, selalu menghantui, sampai saya tamat Sekolah Dasar.

Nyata-nyata ibu membedakan kami. Yang terbaik dari baju-baju atau sepatu, adalah buat saudara saya. Yang terenak dari segala makanan, adalah juga buat mereka. Saya harus puas menerima sisa. Ternyata itu juga belum cukup, segala yang terberat dari urusan rumah tangga, mulai dari menimba air, mengepel lantai atau menyapu halaman, adalah tugas saya. Dan tak sekali pun saya pernah melihat saudara-saudara saya kena maki ibu, apalagi kena pukul. Sedang saya? Duh, terlambat bangun pagi saja sarapannya adalah caci maki ibu. Bikin kesalahan sedikit dapat jewer telinga. Malah pernah ibu mengurung saya dalam wc, seharian, karena saya memecahkan guci antik kesayangannya.

"Anak celaka, kenapa kau selalu membawa sial di atas rumah ini?"

Ibu saya lihat begitu garang dan matanya seperti berapi, menghanguskan tubuh ceking saya. Dalam gigil dan ketakmengertian, saya diam. Ibu kemudian menghujani saya dengan cambukan lidi sebelum akhirnya wajib mendekam dalam wc. Saya ingin bertanya, tapi mulut saya kelu. Saya ingin meratap, tapi hati saya hampa. Saya hanya diam dan merenung, menghabiskan hari dalam kurungan ciptaan ibu.

Pernah saya kabur dari rumah, pergi ke tempat nenek. Saya berharap ibu akan kehilangan dan kalang kabut mencari saya. Ternyata tidak, dua hari saya dibiarkan lepas begitu saja. Akhirnya nenek menyuruh saya pulang. Dan dapat dibayangkan, hadiah apa yang saya terima di rumah. Pukulan gagang sapu dan hardikan ibu. Ketika saya lihat paha saya merah-merah bekas pukulan ibu, saya tak tahu perasaan saya. Iri, sedih dan dendam. Saya lihat saudara saya asik main gasing di halaman, sementara saya mati-matian menahan nyeri di tubuh.

Mulanya saya ingin mengadu pada bapak, tapi sebelum hasrat itu terjadi, saya ditimpa kebingungan. Orang-orang selalu mengatakan kalau wajah saya mirip wajah bapak, panjang dan kulit sawo matang. Sementara bapak yang saya anggap bapak, tak sedikit pun berwajah mirip saya. Dan bapak juga tak pernah berakrab-akrab dengan saya, selain melempar senyum masam jika saya lewat di dekatnya. Dan saya sungguh iri, melihat Bugih yang tiap hari bergelayutan manja di lengan bapak.

Lengkaplah kesengsaraan saya, lengkaplah kesendirian saya. Jika libur datang, saya wajib menunggu rumah, padahal nilai rapor, sayalah yang paling tinggi. Ibu, bapak dan saudara saya, biasanya akan berpergian ke luar kota.

Anehnya, saya tak pernah benci pada ibu. Jauh di dasar lubuk hati saya, saya begitu mencintai ibu. Saya ingin bertanya pada ibu, apa kesalahan saya. Jika saya salah, saya mau memperbaikinya. Atau apa yang ibu inginkan dari saya, agar saya juga dikasihi seperti saudara saya, pasti saya lakukan. Tapi itu hanya angan saya. Dan saya tak pernah hendak melindas kasih saya pada ibu dengan dendam yang membara. Dan saya sungguh heran, kenapa saya mati-matian menyayangi ibu.

Dalam suasana demikian, saya juga kerap menemukan hal yang mengharukan. Kadang-kadang, dalam tidur saya yang hampir lelap, saya rasakan ada usapan tangan. Kemudian desah napas yang berat dan ciuman di kening. Kala saya intip, ternyata ibu yang melakukan itu semua. Atau jika saya tak menangis karena pukulan ibu, kerap saya lihat ibu tertegun, melempar sapu dan menghilang. Tapi selintas saya dapat tangkap kalau mata ibu berkaca-kaca. Dalam misteri itulah saya ke rumah nenek. Kata ibu, akan lebih baik bagi saya kalau tinggal dengan nenek dan melanjutkan sekolah di sana.

"Reno, kau tahu siapa ayahmu?"

Suatu hari, ketika saya sudah kelas dua SMP, saya dikejutkan oleh pertanyaan itu. Saya menatap Rimbo, yang adalah sahabat karib sekaligus saudara sepupu saya.

"Ayah saya, ya bapak yang sekarang. Kok tanya kamu aneh?" Dan Rimbo terbahak, sampai bahunya terguncang-guncang. Saya tambah tak mengerti.

"Ayah kamu, Binuang dan Bintang, bukan dia, Reno. Apa tak pernah hatimu bertanya jika selama ini perlakuan yang kamu terima tak sewajarnya?" Saya terhenyak dan bulat-bulat menatap Rimbo. Saya ingin menampar mulutnya, tapi juga ingin mendengar cerita yang lebih jauh lagi.

"Lalu, siapa ayahku, Rimbo?"

Rimbo tertunduk, tak menjawab. Dia berlari dan meninggalkan saya yang terbengong di bawah pohon jambu. Sejak itu saya selalu ingat perbedaan kasih yang saya dapat dengan Bugih. Dan saya memakluminya sendiri. Tapi ketika otak saya coba menganalisa perbedaan perlakuan ibu terhadap saya dengan Binuang dan Bintang, sungguh saya tak bisa maklum. Kalau Rimbo benar, kenapa ibu berlaku demikian kejam?

Ketika saya menanyai nenek, tak saya dapat jawaban yang memuaskan, selain sebuah kepastian bahwa bapak yang sekarang memang bukan ayah saya. Tapi di mana ayah? Tak ada jawaban, nenek hanya menghujani saya dengan airmata. Ini makin membingungkan saya. Ingin saya balik ke ibu, lalu minta penjelasan. Tapi hati saya mengatakan jangan.

MISTERI ini baru pecah ketika saya sudah kelas dua SMA. Saat itu, datang seorang laki-laki ke sekolah saya, mengaku adik ayah. Dan kenyataan yang saya dapat, membuat saya linglung.

"Reno, benar kamu ini?" Lelaki itu segera merangkul saya, memeluk saya dan matanya berkaca-kaca.

"Om siapa?"

"Aku ...aku, aku Om Pram. Adik ayahmu."

"Lalu siapa ayah saya dan di mana beliau?"

Om Pram tak menjawab. Dia hanya mengajak saya pergi. Dan memasuki gerbang besi yang kokoh, bersuasana sepi dan angker, saya mengerti, kalau saya kini di ambang pintu sebuah penjara. Kenapa harus kemari?

Setelah berbasa-basi dan mengisi buku utama, Om Pram membawa saya masuk. Di depan sebuah pintu sel, saya tertegun. Di dalam, seorang lelaki kurus, berewokan, duduk termangu. Bukan keadaannya yang membuat jantung saya seperti berhenti berdetak. Tapi wajah itu wajah itu. Meskipun tak terurus, saya yakin benar, wajah itu adalah wajah saya. Ketika dia menoleh dan mendekat, saya terpaku. Airmata tumpah ke pipinya yang cekung. Dengan lemah dia menggapai.

"Inilah ayahmu, Reno."

Ucapan yang sudah saya duga itu, ternyata mampu juga melambungkan saya. Kenyataan ini membuat saya hanya berdiam diri, kelu dan terpaku.

"Reno, kamu sudah besar, Nak. Bagaimana keadaanmu?"

Saya tak membalas ucapan ayah, juga tak menghindar ketika ayah mengelus pipi saya. Tapi saya tak menangis, hanya melalap wajah itu nanap-nanap dengan mata saya.

"Reno, om mengerti penderitaanmu selama ini. Om juga mengerti kalau kau mendapat perlakuan yang berbeda dari ibumu. Tapi dia tak sepenuhnya salah, Reno. Kenyataan hiduplah yang membuat ibumu bersikap demikian."

Berceritalah Om Pram, bagaimana sesungguhnya ayah dan ibu dulu amat berbahagia. Perkawinan yang membuat banyak orang iri. Ibu yang manis dan ayah yang tampan, dilimpahi rezeki melimpah pula. Ayah yang bertangan dingin, kata orang. Karena apa saja yang dilakukan ayah, pasti sukses. Sampai dua kakak saya lahir. Di daerah kami, agaknya ibulah yang paling beruntung.

Tapi ketika ibu hamil lagi, yakni hamil saya, musibah itu datang. Sedikit demi sedikit usaha ayah merugi. Sampai akhirnya bangkrut, pas ketika saya delapan bulan dalam kandungan. Ibu yang berbiasa serba ada, jadi shock. Mereka selalu bertengkar. Tapi untung, saya akhirnya lahir dengan selamat. Tapi itu tak meredakan suasana, karena kami mulai dililit kemiskinan. Tiap hari yang terdengar hanya teriak marah ibu atau bunyi alat-alat rumah tangga yang dibanting. Dan dalam kekalutan, ayah malah makin memperburuk keadaan. Ayah bukannya berusaha, tapi malah mabuk- mabukan.

"Ayahmu benar-benar frustasi, Reno. Sementara kalian tetapi butuh biaya untuk hidup. Sejak saat itu, sejak kau masih dalam kandungan, penderitaan itu sesungguhnya sudah kau rasakan. Kau terlantar dan hidup karena belas kasihan banyak tetangga," kata Om Pram.

"Lalu, kenapa ayah masuk penjara?" Om Pram menatap saya diam. Sejenak dia tergugu, tapi kemudian cerita lama itu terbongkar juga.

"Ibumu masih cantik dan memikat. Dia tak terbiasa menderita. Dalam kesengsaraan, dia mengambil jalan pintas. Reno, ibumu menjual diri, untuk menghidupi kalian, adik beradik."

Hati saya tersentak, bukan oleh dendam. Tapi oleh rasa malu dan muak yang entah dari mana tiba-tiba menyelinap, masuk dan tertanam di sanubari saya. Dan rasa kasih pada ibu tiba-tiba sirna, entah kemana. Om Pram kembali berkata.

"Suatu hari, agaknya ayahmu sampai pada puncak putus asanya. Dia mendatangi ibu yang tengah berduaan dengan lelaki lain. Ayahmu menghunus pisau dan membunuh laki-laki itu."

Kerongkongan saya makin kelat. Hitam saya lihat bermain-main diruang mata saya. Tapi saya ingin mendengar cerita Om Pram terus, sampai tuntas.

"Reno, kau begitu dibenci ibumu. Menurutnya, kaulah pembawa sial itu. Ayahmu bangkrut saat kau mulai ada dalam rahim ibumu dan berakhir dengan masuknya ayahmu ke penjara. Jadi kau harus maklum, kalau kau bernasib malang. Tapi kau tak boleh dendam Reno, karena jauh di lubuk hatinya, pasti ibumu mengasihimu."

Saya tak begitu mendengar kata Om Pram. Juga tak begitu menangkap ketika mengatakan ayah dan ibu resmi bercerai setelah ayah masuk penjara dan ibu kawin lagi dengan bapak yang sekarang. Kalaupun secara ekonomi rumahtangga ibu baik lagi, tapi dia tak mampu melupakan kalau saya adalah anak yang membawa kesialan. Dan sesungguhnya, dendam ibu pada bapaklah yang membias pada perlakuan ibu terhadap saya. Sejak saat itu saya tinggal dengan Om Pram dan secara teratur mengunjungi ayah. Dalam keterasingannya, ayah tak pernah habis menyesali diri.

KINI SAYA, berkat keinginan Om Pram, berhasil juga jadi orang. Saya telah menyandang gelar dokter dan dapat tempat cukup terhormat di tengah masyarakat. Ada yang berubah dalaam hati saya. Ketika kecil dulu, saat makian dan pukulan ibu adalah santapan rutin saya, tapi saya tak pernah merasa dendam. Saya justru mengasihi ibu, mencintainya secara tulus. Berusaha menyenangkan hati ibu.

Tapi sejak cerita tentang kesialan yang menimpa keluarga saya, sampai masuk penjaranya ayah, saya merasakan ada yang terbalik. Tiba-tiba saya benci dengan ibu. Bagi saya, ibu tak lebih hanya seorang wanita tamak yang tak pandai mensyukuri nikmat. Dan ayah yang sudah bebas saat saya baru di bangku pertama kuliah, berkali-kali menyarankan agar saya mendatangi ibu. Menurut ayah, ibu tak bersalahan. Seluruh tragedi keluarga kami, terjadi karena kesalahan dan ketidak-mampuannya.

Ketika saya dengar kabar bahwa ibu kini hidup menderita, setelah ayah tiri saya meninggal dan dua kakak serta satu adik saya tak membalas budi, hati saya juga tak tergetar.

"Pulanglah Reno, maafkan ibumu. Kini dia sungguh sengsara. Kau 'kan tahu, kakak-kakakmu dan adikmu, setelah berumah tangga, tak satupun yang mau memperhatikan ibu. Dendam hanya akan melahirkan sebuah kesengsaraan, percayalah itu, Reno."

Begitu selalu bapak berkata pada saya. Saya hanya diam. Jauh di lubuk hati saya, ada sesal panjang, sesal terhadap tragedi demi tragedi ini. Tapi kesakitan oleh pukulan ibu, justru baru terasa sekarang. Luka hati karena makian ibu, juga baru menganga sekarang.

Kalau ingat bahwa saya adalah juga anak laki-laki ibu, untuk itu patut perbakti padanya, hati saya tergetar juga. Dan sungguh, saya ingin datang, bersujud serta membawa ibu keluar dari penderitaannya. Tapi saya tak mampu memilah hati saya, hingga kini dan saya tetap terombang ambing dalam pilihan yang tak pasti.(*) Cerpen Luzi Diamanda