iklan 1

iklan 1

Entri yang Diunggulkan

HILANG KE LIANG

Sajak: Luzi Diamanda Bumi meminta anaknya kembali ke pelukan hilang, ke liang.. kala cangkul meratakan tanah akhir bersama rapal doa-doa men...

Luzi Diamanda
Jumat, 08 Mei 2009


Lok dan Bulan 
Cerpen Luzi Diamanda

BULAN setengah lingkaran hilang timbul ditelan awan. Angin lembut menggesek daun-daunan, meraup malam dalam kesenyapan. Suara jengkrik dari bawah tanah, menjadi irama lain kesenyapan. Sedang bayang-bayang pohon asam tertimpa bulan, melengkapinya, meraup malam dalam keasingan.

Dalam keasingan malam, seorang wanita 50-an, duduk termangu di tonggak batang kelapa depan pondoknya, menatap lekat bulan seten gah lingkaran. Ada binar aneh di matanya, binar yang jadi misteri ketika hilang timbul bulan membuat malam kelam dan temaram.

Bibirnya berukir senyum, tapi bukan kegembiraan. Ketika semilir angin berubah dalam sekejap jadi kencang, dan membawa awan menu tup bulan, senyumnya jadi tawa. Selalu setelah melepaskan suara yang kuat, memecah hening malam, bibirnya komat-kamit, layaknya dukun membaca mantera.

"Loookkk..."

"Loookkk..."

Komat-kamit sang wanita terhenti, dia berpaling sesaat, ke bela kang, kemudian diam dan kembali menengadah, menyenyumi bulan.

"Loookkk..."

"Lapar....."

"Loookkk..."

"Lapar....."

Rarau itu, rarau dalam malam, menghibakan hati siapa saja. Rarau murni yang keluar dari mulut seorang kanak-kanak. Senyum wanita itu jadi kecut dan dia berdiri, masih sempat berpaling pada bulan. Sejenak, seperti mengheningkan cipta, dia tertunduk di depan pondok kayu ukuran 2 x 3 meter, tak jauh dari tunggul kelapa tempat dia duduk tadi. Sebelum derit pintu karena tolakannya terdengar, kembali dia palingkan wajah pada bulan.

"Lok, makan. Laparrr!" Seorang bocah 13-an, beringsut, mendekati sang wanita. Tanpa suara, wanita itu melangkah menuju meja kecil di sudut ruang, membuka tudung saji mengambil sepiring nasi putih. Mence capinya dengan garam, kemudian menyodorkan pada sang bocah.

"Ndak, saya mau ikan."

Piring itu ditolak si bocah dan kakinya yang ternyata lumpuh, mendetam-dentam, dalam malam. "Mak Adang ang indak pulang, pitih indak ado." Tak lagi menghiraukan sang bocah, wanita itu kembali turun, melangkahi jenjang papan, menuju halaman. Lalu kembali duduk di tunggul kelapa. Wanita itu, Lok, menjadikan bulan sebuah keasi kan.

MALAM ini malam yang lain, ketika bulan penuh empat belas. Lok tak lagi duduk di tunggul itu. Teriakan riang anak-anak main semba lakon, dengung suara perempuan bergunjing dan dentam batu domino di kedai Sidi Marajo, tak mengusiknya. Dalam pondok pengap, kesibukan lain mewarnai malam. Kain-kain dalam satu ikatan tertumpuk di sudut. Kasur dan tempat tidur di sudut lain, piring, tudung saji serta kompor, di sudut lain pula.

"Cup, kita akan pindah." Suara yang seperti dengung itu terdengar lamat. Dan ingsut kanak yang dipanggil Cup, dengan kedua kaki mengecil, menyaingi lamat itu.

"Ke mana, Lok?"

"Ke rumah kita. Rumah kita sendiri." Kemudian dari celah dinding pondok, sang wanita mengintai bulan. Senyumnya melebar dan komat-kamitnya menderas.

"Ini malam empat belas, ini malam karunia. Nar, di mana kau? Uda, di mana kau?" Wanita itu mengakak, mengguncang pondok yang tak kuat.

"Lok, Lok, takut, takut."

Seperti disentakkan, dia berpaling. Sejenak, dalam dua kali helaan nafas, dia pun mendekat, memeluk dan mengusap rambut Ucup, memberikan kekuatan.

"Lok, kenapa lagi?" Sebuah hardikan mengagetkan mereka berdua. Seorang laki-laki muda, naik tergesa. Kemudian tanpa bertanya, membuka semua bung kusan, menebarkannya dengan amarah tertahan.

"Lok, kita tak punya rumah. Kita tak punya sanak, kita tak punya uang. Mau ke mana, Lok? Ini rumah kita, rumah sewa. Kenapa, Lok? Kenapa?"

Dalam amarah yang meluap sang lelaki menatap Lok, seperti hendak menelannya."Lok gilo."

Dalam sekali hentak laki-laki muda itu berbalik turun, dan menghilang dalam malam. Lok terdiam, menatap bayang-bayang anak laki-lakinya yang ditelan malam. Kemudian dia kembali menatap bulan, lekat-lekat. Di sana, di mata tua itu, ada air yang tergenang, tapi tak bergulir turun.

"Lok gilo, Lok gilo..."

Dan senyap malam meledak dalam teriak anak-anak. Kini pondok itu dikerubungi. Ibu-ibu saling berbisik, anak-anak melompat-lompat dan Lok tertunduk, dalam.

"Bulan naik, memang bulannya orang gila. Jika bulan naik orang gila pun mulai bangkit."

Suara itu dibisikkan dalam malam, tapi Lok seperti menangkapnya. Dalam sebuah palingan dia memperlihatkan wajah tegang, hanya sesaat untuk kemudian tertunduk kembali, dalam. Pelan-pelan, amat pelan malah, Lok bangkit, kembali membenahi barang-barang yang berserakan. Dalam malam Lok kini tak menatap bulan, tapi bolak-balik membongkar barang-barang. Senyumnya tak lagi ada. Wajah Lok datar, tanpa ekspresi. Kemudian, ketika penat terasa, Lok terduduk. Mengecilkan lampu togok dan memeluk lutut. Hanya sesaat, ketika angin menyibak daun pintu dan cahaya bulan masuk ke dalam, Lok bangkit lagi. Perlahan dia melangkah, menuruni anak tangga dan duduk di tunggul kelapa.

"Loookkk...!"

"Loookkk...!"

Suara itu memecah malam, tapi Lok diam; menatap bulan. Kini tak lagi ada senyum, tapi Lok melepaskan tawa dalam sebuah suara, suara yang mirip ratapan. Lok berbuai-buai dalam malam, ketika orang-orang tak lagi peduli dan terlelap dalam tidur masing- masing.

KINI malam, bulan membentuk sabit, berjalan pelan-pelan mengikuti langkah kaki Lok. Dengan kepala tertunduk Lok menelusuri pasir pantai. Angin yang mulai dingin dan suara ombak yang terdengar keras, tak membuatnya berpaling.

"Lok, pulang. Pulang!"

Suara itu mengagetkan sekaligus memalukan Lok. Dia yakin, Sapar, anak lelaki satu-satunya berlari di belakang. Lok lari, terseok dan hilang dalam malam. Tapi Lok tak pulang. Lok terduduk lemah, di atas batu besar, di pinggir jalan. Sesaat, ketika menatap bulan, mata Lok kembali bersinar. Dan senyum Lok mengembang, komat-kamit Lok terdengar.

"Nar, jemput Lok, ya. Sekarang juga."

Dalam malam, di bulat sabit, Lok melihat Nar. Dalam malam, di bulan sabit, Lok melihat Muchtar, ayah Nar dan dalam malam di bulan sabit, Lok melihat puluhan ribu berlipat-lipat, dalam kantong Sapar. Hilang timbul ingatan Lok, hilang timbul bayang-bayang itu, hilang timbul komat-kamit Lok. Ketika bulan makin menurun, Lok cemas. Dan satu-satu bayang- bayang itu makin jelas.

DUAPULUH tahun yang lalu, Lok ingat, Muchtar meninggal ditabrak kereta api, meninggalkan dia, Nar dan Sapar. Lok meratap, meraung-raung. Dengan bekerja sebagai buruh cuci, Nar dan Sapar dewasa juga. Lok penat bolak-balik, mengurus pensiunan suaminya yang pegawai kecil, tukang sapu di sebuah SD. Lok ingat juga ketika Nar pulang menangis, meratap dan merarau. Anak gadisnya itu yang memang sedikit bodoh, tak bisa apa-apa dan kerap jadi bahan tertawaan, mengadu, telah diperkosa orang. Dan berdua dengan Sapar, dua bulan kemudian, dia cari dukun untuk menggugurkan janin dalam perut Nar. Tapi ketika bulan berganti bulan, janin itu makin membesar. Lok pasrah saja. Dan lahir Ucup, sang cucu, dengan kaki kecil.

DALAM bulan, malam ini, Lok kembali menyaksikan Ucup yang tahun demi tahun tumbuh sebagai bahan tertawaan. Lok menyaksikan pula dalam bulan, ketika dengan sabar dia gendong Ucup, dari hari ke hari, sampai hari ini. Dan saat Nar diusung dalam keranda, lima tahun setelah kelahiran Ucup, nyata nampak oleh Lok. Ketika dia meratap-ratap, menelungkup dan mencakari tanah merah yang menimbun Nar, Lok merasakan sakit seketika tangan Sapar yang menariknya.

"Nar, Nar, jemput Lok, jemput Ucup."

Bayang itu menghilang ketika bulan ditelan awan. Dan Lok terseok, melangkah pergi, meninggalkan batu besar. Menatapi pintu pondok dan mendengar dengkur halus, Lok tak jadi melangkah masuk. Lok kembali berbalik, duduk di jembatan. Bulan sabit hadir lagi, membuat senyum Lok kembali mengembang. Bayang-bayang yang tadi terputus, hadir lagi. Lok menyaksikan Ucup yang ditendang, dijahili, oleh anak-anak sesama besarnya. Lok melihat muka masam Raina, yang punya rumah, ketika berak ucup bertebar-tebar. Dan Lok seperti menampak lagi, ketika dengan wajah marah Raina mengusirnya, karena masih tiap bulan belum bayar sewa rumah. Dia lihat juga Sapar yang selalu pulang malam, memberi uang seribu rupiah untuk makan.

"Nar, Nar..." Lok terdiam dan bayangan itu kembali menghilang. Seiring hilangn ya bulan ketika angin meniupkan awan.

KEMBALI bulan empat belas. Lok duduk juga di jembatan. Lok tak tersenyum. Dalam bulan dia lihat Sapar, anak laki-lakinya meme gang sepuluh ribu berlipat-lipat.

"Lok, pensiun bapak keluar. Ini rapelnya, lima ratus ribu." Lok terlonjak dalam bahagia, dan dia lihat kembali dalam bulan. Terbayang oleh Lok sewa rumah akan dilunasi, makan sedikit beru bah dan kaki Ucup bisa diobat. Lok ingat antingnya yang dijual Sapar, dua tahun lalu. Katanya untuk bayar sewa rumah. Itu satu-satunya peninggalan sang suami dan Lok mencintainya seperti mencintai alharhum. Dan Sapar ber janji, menggantinya kembali.

"Uang ini biar saya yang pegang, nanti hilang sama Lok."

Dalam bulan, kembali dia lihat ketika Sapar memasukkan uang itu ke dalam dompetnya dan wajah masam Lok, ketika angannya ternyata hilang. Lok kembali menatap bulan lekat-lekat, takut seluruh bayangan itu akan hilang kembali. Lok tersenyum, karena bulan utuh dan itu berarti bayang-bayang masa lalunya juga tergambar utuh, di sana; di bulan. Lok melihat ratapan Ucup, ketika tak sanggup menahan lapar. Ternyata setelah uang itu dibawa Sapar, seminggu dia tak pulang ke rumah. Lok melihat pula wajah masam pemilik kedai sebelah pondok, ketika dia berusaha mengutang beras. Lok menunduk, menghindari bulan, karena di sana tergambar wajah Sapar yang tak sedap. Tapi sejenak, ketika kembali Lok tengadah. Lok ingin melanjutkan melihat wajah Sapar. Dan memang nyata, ketika Sapar pulang meren tak-rentak, menyalahkannya, menyalahkan bapaknya yang telah tiada dan menyalahkan kemiskinan mereka.

"Duit habis, Lok. Saya kalah judi." Lok menyaksikan kembali wajah yang ternganga dan Sapar yang merentak turun dari pondok. Tapi Lok tak melihat airmata, padahal Lok yakin, saat itu dia pasti menangis. Ketika kembali rutinitas kehidupan dia jalani, Lok jadi akrab dengan bulan. Lok saksikan kembali percakapan tengah malam pertamanya dengan bulan, di atas kuburan Nar, enam bulan yang lalu. Betapa setelah itu dadanya lapang dan tawa Lok mengembang. Angin kembali membawa awan, bulan pun ditutupinya. Lok tercen gang, kelam tak lagi menakutkan. Sesaat, ketika kembali bulan tersibak, Lok menghadiahi bulan dengan senyum.

"Bulan, kau benar-benar setia. Selalu kau tampilkan wajah Nar, Muchtar dan kau selalu terima ceritaku dengan dada lapang." Lok menggumam.

"Loookkk...!"

"Loookkk...!"

Suara itu memecah malam, tapi Lok tak bergerak, dia tetap bercakap dengan bulan. "Lok, sudah malam, pulanglah." Sapar sudah berdiri di sampingnya. Tapi Lok menepiskan tangan anak lelakinya itu. Kembali Lok menatap bulan. Dan malam pecah oleh tawa Lok, tawa yang mirip ratapan. Lok menghentak dan berlari. "Aku mengejar bulan, aku mengejar bulan." Lok berteriak dan tak lagi peduli pada Sapar yang meratap, mengharap dan mengajak pulang. Dalam malam, ketika bulan tak seperti sabit, Lok berlarian, membawa tawanya.***

Padang, 1995.

* Mak Adang = Kakak laki-laki ibu
* Uda = kakak laki-laki
* Sanak = saudara
* Gilo = gila, tidak warasKadar Cerpen Luzi Diamanda

"BAH, mereka-mereka itu memang bangsat, manusia berjiwa kerdil. Mereka sembunyikan kebusukan diri dengan melempar kesinisan terhadap orang lain. Mereka berpura-pura suci, lalu menyebar aib tentang orang lain. Anjing kurap, setan dekil, kalian sebenarnya siapa, he? Perangilah nafsu batil kalian, baru sebarkan tentang kesucian dan sorga pada orang lain."

Tiba-tiba ada air jatuh, tepat di tengah kertas yang ada tulisan di atasnya. Merebak, makin besar dan makin meninggalkan bayangan. Makin lama air itu makin banyak, hingga akhirnya kerta tersebut setengah lumat. Kata-kata kasar yang tertera dengan spidol merah itu mulai mengembang, kabur dan susah untuk dibaca.

Kemudian terdengar isak tertahan. Lamat-lamat, tapi terasa begitu keras dalam malam sepi macam ini. Kala isak terhenti, ada bantin gan keras, seperti piring pecah. Diam sejenak, berlanjut lagi, hingga malam jagi hingar-bingar.

Suara bantingan lenyap. Sepi. Dalam kamar yang kini tampak seperti kapal pecah, Ning terduduk lemas. Tangannya menopang dagu, mata menerawang. Keliarann yang sejenak membuat kamar hiruk pikuk, sungguh tak berbekas. Ning lelah.

GORESAN garis-garis di atas kanvas dengan warna-warna berani, mendominasi dinding-dinding di ruang pameran. Merah, hijau, kuning ungu dan hitam, berpadu serasi. Selintas kelihatan keras, tapi perlawanannya adalah gejolak hidup.

Di sudut, dekat lukisan merak yang menantang, Ning terpaku. Matanya tak hendak terpicing. Dia raup diam-diam dalam sanubari gejolak yang timul karena lukisan itu. Betapa menyalanya sang merak, di tengah alam yang mengungkung.

Tiba-tiba Ning tersentak. Seorang laki-laki, 30-an tahun, sudah berdiri di belakangnya. Ning amat kenal dia dan dia juga amat kenal Ning. Kawan lama. Malah boleh terbilang kawan akrab. Tapi kali ini tatapannya terasa begitu lain, asing dan penuh tanya. Tawa yang tadi menggantung di bibir Ning, lenyap dengan terpaksa.

Ketika akhirnya laki-laki tersebut berlalu, Ning terluka. Tak ada tegur sapa, hanya sebuah tarikan sinis di sudut bibirnya. Ning berpaling ke belakang, tempat dia tadi meninggalkan Edo, sang suami. Kembali hatinya robek, laki-laki yang telah meninggalkan sesungging senyum sinis buat Ning, begitu akrab dalam baur tawa bersama Edo.

Ning mencoba melupakan keduanya. Beranjak pada lukisan lain. Ada laut dengan bianglala senja. Seorang nelayan terkantuk-kantuk di atas sampannya. Tapi kini tak tak lagi sepenuhnya Ning bisa menikmati lukisan itu. Nalurinya mengatakan agar segera pergi saja. Ketika Edo melambai, Ning mengangkat bahu, menunjuk ke uar. Pulang.

DALAM gelap ruang pertunjukan, Ning masih duduk menunduk, seperti menyembunyikan muka dari tatap orang lain. Padahal, kalaupun kepala dia tegakkan, tak ada yang bakal tahu pasti bahwa itu Ning. Angan yang dia bawa ke dari rumah, menyaksikan pertunjukan teater dengan sepenuhnya, sirna seketika. Kala kaki Ning melang kah masuk, saat lampu masih menyala, tiba-tiba saja ada yang mendongak. Tatapannya segera lain, saat mata mereka bertemu. Ada yang menusuk dada Ning, perih dan sakit. Tatap itu berisi tuduhan dan betapa sinisnya.

Sekejap, wajah itu berpaling pada teman di sampingnya, berbisik dan terus begitu sampai empat kali, tiba-tiba saja kemudian keempatnya serempak menatap Ning. Dan dalam diam, kembali luka menganga di dada Ning.

Ada api yang menjalar, memanaskan dada Ning. Tatap mereka, sung guh terasa lain. Ada tanya, ada curiga dan ada juga ketakmenger tian. Ning terpukul.

Dia cari kekuatan dengan memegang lengan Edo, sang suami. Kehan gatan yang menjalar dari sana, tak menyejukan hati Ning. Diam- diam dia lumat wajah Edo yang demikian dekat, mencari sesuatu. Tapi tak ada, selain kerinduan, kerinduan seorang Ning, pada Edo. 

ADA tangisan yang mengantarkan bara ke dada Ning. Tangisan anak perempuan kecil, karena ditinggal ibu. Meski itu soal biasa, toh sebentar lagi dia akan diam, tapi kali ini Ning merasakannya amat luar biasa. Hentakan-hentakan yang memalu dada, seiring tangis itu, membuat Ning terkulai lemas.

Kemudian diam. Ning terpaku, tak jadi melangkah ke luar. Segera dia rebahkan badan di atas kasur. Ada yang menjalar, mula-mula di kepala Ning. Berdenyut, terus ke dada, perut dan kaki. Ning menggigil.

Sebuah rasa lain, rasa yang diliputi kerinduan, berbaur dengan kepedihan yang menyayat. Ning memukul dada, coba menghilangkan ngilu yang menyerang. Kala Ning terbebas dari rasa itu, dia terkulai, lemas.

"Buah hatiku, belahan jiwa..."

Sayup-sayup bibir Ning bersenandung, sambil tangannya mengusap perut.

HUJAN yang turun makin deras, menggigilkan. Tak hanya raga tapi juga jiwa Ning. Dia terpaku, menatap titik-titik air. Lalu, perlahan, melangkah menyambutnya. Sekejap, basah kuyup semua. Tapi langkah kaki yang tersendat-sendat, terus berlalu.

Pedih kuliat tertimpa hujan dirasakan Ning belum seberapa. Dia usap pipi, masih ada benjolan, bekas lima jari tangan. Dia usap, lalu menangis. Air hujan dan airmata pun bersatu.

Lalu lalang mobil, ketipak ladam kuda bendi atau cipratan air yang dengan sengaja dilakukan para sopir membuat kumal gaun Ning. Dan tatap aneh dari mata-mata yang kebetulan berpapasan atau dari rumah-rumah pinggir jalan, tak menggoda Ning untuk menghentikan langkah.

Dia susuri hujan, seperti kemarin, ketika sebuah kecemburuan meletupkan marah Edo, Ning adalah korban yang tersudut. Telah dia tutup rapat pintu hati dari sibakan masa lalu, tapi kembali itu dibangkitkan. Ning terkulai, selalu begini dan begini juga.

SEPULUH tahun, memang tak singkat. Sejarah kehidupan putar berputar. Tapi bagi Ning, tak seperti roda, sekali di atas sekali di bawah. Seluruhnya hanyalah kelelahan dan kekalahan, setelah pasrah panjang yang tak berujung.

Ketika terlahir sebagai perempuan, gurat nasib adalah jelas untuk Ning. Kelak, akhirnya sampai pada ujung. Menjadi istri, menjadi ibu dan menjadi makhluk nomor dua. Yang lebih parah lagi, menjadi hamba. Seperti ibunya, kakak-kakaknya atau tante-tantenya atau perempuan-perempuan yang pernah Ning kenal.

Tapi jiwa Ning yang selalu bergolak, tak suka itu. Pikiran Ning penuh warna, tak dapat menerima itu. Pikiran yang datang dari masa lalu, pikiran yang datang dari keegoisan kaum laki-laki. Ning memang perempuan, tapi bukan makhluk nomor dua. Kelak dia akan jadi seorang istri, tapi bukan hamba.

Bagi Ning, persekutuan antara dua lawan jenis adalah persekutuan dua sifat, dua pikiran dan dua idealisme. Keduanya adalah mitra, tak ada yang tinggi dan tak ada yang rendah. Jika wanita tak kenal lelah, mengabdi seharian, demi keutuhan sebuah rumahtangga, kenapa laki-laki harus dibiarkan bebas? Harusnya saling berbagi, saling mengisi. Bantah membantah adalah juga denyut kehidupan.

Tapi tak mungkin, kultur telah tercipta, memojokkan kaum wanita, juga Ning, dalam sebuah keranda. Dia tetap wanita. Ketika pikiran-pikiran Ning lontarkan, dia menjadi sebuah lelucon, lelucon baru, baik dari kaumnya, apalagi bukan kaumnya. Tapi Ning tak patah.

Kemudian, ketika Ning harus bersanding di pelaminan, mengukuhkan diri sebagai seorang istri, harap itu tak pernah pudar. Dia telah siapkan diri sebagai mitra.

Kala jiwa yang bergolak, pikiran yang penuh warna itu harus tandas pelan-pelan dalam kenyataan, Ning melabuhkan diri dalam pasrah panjang. Tapi tak lama. Jiwa dan pikiran itu butuh muara. Ketika harkat kewanitaannya dilukai, salahkah kalau kemudian Ning mundur diri? Jalan yang ditempuh jelas, dan Ning memilih; kembali sendiri.

Menekuni karir, bergulat dalam keras hidup, melontarkan pikiran dan memenuhi apa yang selama ini hanya jadi gejolak hati, itulah kemudian hakikat hidup Ning. Sejenak dia puas.

Hidup terus berputar dan tak ada yang tahu pasti, ke mana arah putar itu akan membawa diri. Sesaat, mimpi yang jadi nyata, hilang oleh gerhana. Tiba-tiba suara-suara itu datang, suara- suara yang memedihkan. Tak hanya sakit untuk didengar tetapi juga pedih untuk didiamkan.

Wanita yang sendiri, maju dalam karir, siapa yang bisa meyakini kalau itu milik sendiri? Suara-suara sumbang, sindiran-sindiran tajam dan tatapan-tatapan aneh, memporakporandakan segala keyaki nan. Ning terkapar, ketika kata janda dihembuskan penuh benci oleh kaumnya, penuh birahi oleh lawan jenisnya.

Coba untuk tidak dipedulikan. Langkah kaki menyeruak di antara bilah-bilah kehidupan. Tapi kala semua tiba-tiba tutup mata, apa daya? Ning, kesendiriannya Ning, selaku makahluk masih punya rasa, apakah harus diam saja? Kerap, malam-malam, kala mengapung pikiran dan jiwanya. Tuhan beginikah hidup? Jiwa Ning bergetar. Diakah yang telah menyalahi takdir?

Kembali lelah panjang menemani malam demi malam, pagi demi pagi, siang demi siang terpuaskan oleh gejolak jiwa yang terus mencari atau oleh gejolak pikiran yang terus memberi. Untuk apa semua ini? Untuk apa diambil, kala badai sampai pada puncaknyaa, kadang adalah keputusan yang bersifat untung-untungan. Kesendirian, ter nyata tak selamanya menyenangkan.

Dan dalam badai yang menderu, ketika sebuah uluran tangan datang menawarkan damai, mungkinkah itu ditolak? Sebuah kasih tak berte pi, sebuah kasih dengan pemahaman, datang dari Edo.

Gejolak jiwanya adalah gejolak jiwa Ning juga. Dan dia adalah mitra, tempat segala ide hendak dibagi, lalu dirumuskan dalam sebuah karya.

Hadir di produk masa kini, Edo adalah juga orang yang menggugat keadaan. Wanita bukan hamba dan pria bukan dewa. Ning terbuai, karisma dan simpati yang menggetarkan. Tak pula dia gugat hati, kala harus mengukuhkan diri sebagai istri.

Dan layar yang terkembang adalah layar kokoh, untuk lautan maha luas. Tak Ning ragukan cadiknya, tak Ning ragukan gelombang. Bukankah dia juga gelombang?

Hidup terus berputar dan kadang kita terlanda oleh putarannya. Begitu juga Ning. Adakah madu cuma manisnya sampai di bibir saja? Jika manisnya ternyata datang bersamaan dengan pahit empedu, apa daya? Pahit atau manis, akhirnya sama-sama menjadi sebuah kekala han, kalau kita tak berdaya mendayungnya mencapai pulau cita. Siapa duga kalau layar kokoh itu bisa sobek? Pertama, oleh Edo sendiri. Sebagai lelaki yang masih lajang, penuh keberanian melompati pagar untuk hidup bersama wanita yang pernah berdua dan kemudian sendiri lagi, akhirnya pertahanan itu luruh juga.

Ning merasakannya, meski Edo tak pernah berkata apa-apa. Ketika Edo menolak mengatakan siapa Ning sesungguhnya, Edo sudah menyim pan sebuah dusta. Cinta memang kerap terbawa emosi, tanpa mau menoleh agak sejenak, apa setelah itu yang akan terjadi. Dan cinta Edo, mengalahkan seluruh perintang, sebelum ini.

Tapi seperti emosi yang bisa reda, jika pelampisannya sudah tuntas, demikian pula cinta. Kalaupun tak musnah, kadarnya tak lagi sekental dulu.

Pertanyaan tentang masa lalu yang tak perlu, kecemburuan yang tak perlu, kini muncul ke permukaan sebagai sebuah kendala yang tak pernah tuntas. Dia teror kebersamaan yang awalnya bak madu, dia retas benang kasih yang awalnya bak nira, kemudian dia bangun pelan-pelan jaring keretakan.

Retak itu makin makin lebar. Dan kembali kewanitaan Ning tergu gat. Mitra yang dia harapkan, ternyata berbalik pada kadar semu la, lebih mengarah pada hamba. Dan bantahansudah tak lagi ada artinya, karena dia harus menerima. Dia tak lagi kawan seiring, tapi hanyalah seorang penunggu rumah. Dalam kegalauan, sungguh, Ning tak tahu rima mana lagi yang harus ditebas.

Beban lain, ketika gugatan alam juga harus hadir. Ning, sebagai wanita yang rahimnya adalah tempat persemaian, mulai merasa kalau benih itu mulai hidup. Tatkala tuntutan baru hendak disusun, ketika keberadaan baru hendak digugat, benih itu datang, nyata dan tak mungkin ditolak lagi.

Dalam gugatan demi gugatan, dalam gejolak demi gejolak, dalam tanya demi tanya, apa lagi yang harus dipertahankan? Ning, sen diri dan merasakan jenit-jenitk benih dalam rahimnya sebagai sebuah tantangan lain.

Dalam kegalauan, Ning tahu pasti dia tak ingin memisahkan benih ini, apalagi menguranginya kembali. Dia adalah nyata, dari bibit Edo dan bibitnya.

Demi sebuah kehidupan baru, jika benih ini kelak lahir, Ning kembali tata hatinya. Sungguh dia tak sanggup kalau kelak benih itu hadir, dewasa dan kemudian kembali menggugatnya sebagai ibu yang gagal.

Ning, terlahir sebagai seorang wanita dan segalanya harus dia tahankan.

NING kembali menekuri lantai. Pecahan-pecahan kaca dan koran- koran yang berantakan, seperti memandangnya tak mengerti. Dia tak akan maklum, betapa sesungguhnya dia hanya lampiasan dari jiwa Ning yang tengah menjerit. Tak hanya kewanitaannya yang digugat, tapi keberadaannya di sisi Edo pun digugat.

Ning jeritkan lewat nafas yang berhembus keras, bahwa dia, seor ang Ning, tetaplah seorang wanita yang telah kembali dari ke duaan, kesendiriaan dan keduaan lagi. Itu cukup untuk sebuah status, tak bagus. Doa-doanya kepada Tuhan, kala sujud tengah malam, belum tuntas membukakan pintu.

Tapi tak seperti masa lalu, kali ini tak mungkin membongkar sejarah lama, meninggalkan sega lanya. Ning, seorang perempuan, harus arif untuk sebuah keutuhan. (*)





Leman Cerpen Luzi Diamanda

DI SINI, malam yang bergulir dirasakan laki-laki itu sama saja dengan malam-malam yang kemarin dan kemarin; gelap dan sepi. Lelaki tua, dengan mata yang mulai rabun, memandang bayang-bayang dirinya yang tercetak di dinding lewat biasan cahaya lampu damar. Ruangan tiga meter persegi, tempat pengasingan diri yang hampir lima tahun dia akrabi, tak menjanjikan sesuatu yang baru. Ke mana mata dia arahkan selalu membentur yang itu ke itu juga. Dinding dari bilah bambu, atap rumbia dan lantai papan yang telah berlo bang di sana sini.

Perlahan lelaki itu menggeser duduknya, merapat ke dinding, menyandarkan kepala dan mulai menggulung daun nipah. Kemudian dia hirup rokok daun itu, pelan-pelan. Juga tak ada apa-apa dia rasakan. Dalam hembusan asap kelabu, lelaki tua itu seperti melihat kembali kaca dirinya, kaca kenangannya dan kaca kerin duannya. Lelaki itu mendesah.

Dalam usia 65 tahun lebih, saat ini, alangkah banyak waktu ter sia. Terbayang masa muda, saat dia masih tampil sebagai pemuda paling gagah di desanya. Anak kesayangan orangtua yang memiliki sehektar sawah, berhektar ladang. Terbayang juga gadis-gadis manis, dengan bedak beras di wajah, lewat diam-diam di depannya, melirik selintas. Dia amat mengerti kalau gadis itu ingin dia sapa.

TERBAYANG Rukmi, kembang desa yang jadi rebutan. Berwajah bulat dengan mata bersih. Bibir Rukmi yang merupakan perpaduan antara senyum dan ejekan, jadi inceran lelaki di desanya. Terbayang juga saat dia bersanding dengan Rukmi setelah melewati sebuah perjuan gan yang dahsyat. Terbayang juga tangis Rukmi saat dia menyata kan: "Cerai."

Itu masa lalu, masa lalu Leman, lelaki tua itu. Dia nanap dalam kenangan. Dia ingin rengkuh, malam ini, segalanya. Dan sayup- sayup suara riuh anak-anak pulang mengaji, mengelilingi kampung dengan obor di tangan mampu melepaskan kenanganitu sejenak. Beringsut dia dekati pintu pondok, duduk berselonjor dan menanti anak-anak dengan obor di tangan, yang pasti akan lewat di depan pondoknya.

Adalah duka yang amat menusuk, ketika lebih seratus anak-anak lewat, memegang obor dan berteriak Allahu Akbar. Dalam bayangan matanya yang mulai rabun, dia lihat juga anak lelakinya, Nurdin, tengah memegang obor. Saat dia ingin berteriak memanggil, tiba- tiba saja bayangan itu hilang, berganti dengan Nurdin yang meman dang beringas.

"Rukmi, aku rindu masa lalu kita. Aku juga rindu anak-anak. Sudahkah engkau kini memiliki cucu?" Lelaki tua itu bergumam sendiri, antara terdengar dan tidak.

Rukmi, istri yang amat setia itu, yang selalu sabar dalam deraan derita seberat apapun, ternyata harus menerima sebuah balasan yang amat menyakitkan. Dia campakkan Rukmi dengan enam anaknya, saat Lasmi, janda desa sebelah mampu meluluhkan kelelakiannya.

Tak dia gubris tangis Rukmi. Tak dia gubris ratap Rukmi, juga tak dia gubris sembahan Rukmi, yang mohon agar dia jangan diceraikan. Malah, kala itu, anaknya Nurdin, si sulung mengomandoi adik- adiknya, menghalangi pintu agar sang ayah tak jadi turun. Tapi itu tak ada artinya. Dengan sebuah hardikan, redalah semua. Lalu dia tinggalkan rumah itu, untuk kemudian menikah dengan Lasmi.

Leman memang mereguk madu cinta dengan Lasmi. Untuk itu dia rela hektar demi hektar sawahnya tergadai demi Lasmi dan anak-anaknya. Habis itu, sawah pun dia jual. Demi Lasmi. Rayuan Lasmi, tutur lembut Lasmi dan layanan Lasmi sebagai seorang istri telah memba bakbelurkan seluruh kesadaran yang ada pada dinding kalbunya.

Demi Lasmi juga kemudian dia tega mengusir Nurdin yang datang minta belanja. Setelah pengusiran itu, dia lihat tiap hari Rukmi, jandanya, keluar masuk kampung mencari telur ayam, untuk kemudian dijual lagi di pasar. Juga Nurdin yang menyabit rumput untuk kerbau kepala desa, dan Teti si bungsunya berjualan goreng tiap pagi. Dia butakan hati, telinga dan mata. Dia terlelap dalam rayu Lasmi, dia terlena dalam peluk Lasmi.

Dan Lasmi amat lihai melihat geraknya. Baru saja tergerak dia hendak memanggil Nurdin, sekedar memberi belanja sekolah misaln ya, maka Lasmi akan datang dengan manis mulutnya, minta belikan baju, terompa ataupun keperluan rumahtangga lainnya.

"Uda 'kan ingin Lasmi selalu nampak cantik. Sekarang ini lagi mode baju kebaya encim dengan dasar brokat. Tolong Uda belikan lengkap dengan kain dan selendangnya, paling lama besok ya, Da." Itu selalu ucapan pertama Lasmi jika ingin minta sesuatu. Disam bung lagi dengan kata, "Kan, demi Uda. Jika saya tampil cantik yang bangga kan Uda juga." Dan Leman pun luluh seluluhnya.

Kala itu umurnya baru 35 tahun, Nurdin si sulung berumur 15 tahun dan Teti si bungsu berusia 6 tahun. Lasmi baru 28 tahun dan Rukmi 33 tahun. Jika malam datang, Lasmi, tanpa diminta akan segera membarut kakinya dengan minyak gosok atau memijit punggungnya dengan tangan yang halus. Padahal itu tak pernah dia dapatkan dari Rukmi.

Kenangan yang tersisa akan Rukmi saat dia bersama Lasmi hanyalah tentang keapekan bau Rukmi, setelah seharian mengerjakan peker jaan rumahtangga. Rukmi yang lelap tertidur begitu menyentuh kasur dan kerinduannya terhadap anak-anak mampu hilang karena kenangan akan kenakalan Nurdin, kecengengan Teti dan keributan yang selalu terjadi tiap malam.

Dan Leman yang merupakan lelaki satu-satunya dalam keluarga menjadi amat berkuasa terhadap adik perempuannya. Segala harta, dengan ancaman dan kekerasan jatuh ke tangannya. Tak ada yang berani menghalanginya. Lima tahun menikah dengan Leman, Lasmi telah memiliki sebuah rumah paling megah di desanya, sebuah heler padi, sebuah Honda dan emas yang tak sedikit. Malah adik-adik Lasmi pun tampil berubah. Mereka seakan jadi penguasa di desa. Tak ada yang berani membantah.

Dalam waktu tidak cukup 20 tahun, seluruh harta Leman telah bertukar nama dengan Lasmi. Anak-anak Lasmi, yang adalah anak tiri Leman, berjumlah tiga orang, juga mengorbit menjadi anak- anak muda dengan segala kebrutalannya. Semua itu atas kekayaan Leman yang berpindah ke tangan Lasmi.

Saat itulah agaknya Leman mulai meraba sesuatu yang tak beres, perihal hubungannya dengan Lasmi. Tak ada lagi panggilan Uda? yang amat manis. Tak ada lagi pijitan, apalagi rayuan menjelang tidur. Lasmi tampil menjadi bintang di desanya, juga desa-desa sekitarnya. Lasmi dengan hartanya menjadi orang yang paling disegani. Dan bentengnya amat ampuh, adik lelaki Lasmi yang selalu menamakan diri pareman.

Saat Leman merasa penglihatannya mulai kabur, mulai merasakan rematik menggerogotinya dan uban memutih di kepala, baru dia merasa sebuah keanehan besar. Lasmi tak lagi tampil membelanya. Lasmi tak lagi merengek manja. Malah, Lasmi telah berlaku keras, menyuruh ia tidur di kamar belakang. Tak lagi peduli pada bajunya yang tak berseterika, juga tak peduli pada rokok yang telah tiada di kantong Leman.

Perubahan drastis itu membuahkan sebuah kesadaran, tetapi sungguh terlambat. Lasmi telah memerasnya. Setelah segala kekayaan jatuh ke tangan Lasmi, Leman tak lebih; hanya dianggap sebagai sampah. Hardikan Lasmi adalah makanan rutin, pandangan sinis adik-adik Lasmi adalah santapan pagi. Malah anak Lasmi yang dengan susah payah dia besarkan dan dia biayai, selalu memanggilnya dengan: gaek.

Leman hanya bisa mengurut dada. Pernah dia berontak, tapi Lasmi malah mengusirnya. Padahal dia tak lagi memiliki apa-apa, lalu ke mana dia harus pergi? Dia tak berani ke rumah Rukmi, juga tak berani ke rumah kemenakannya. Biarlah dia tahan sakit di rumah Lasmi asal dia masih bisa makan, istirahat dan dapat belanja untuk beli rokok.

Keangkuhannya musnah, harga dirinya telah dirampas dan dia rela menjalani itu demi hidup. Tapi saat umurnya memasuki usia 60 tahun, saat Lasmi baru saja pulang dari Mekah, setelah menunaikan ibadah haji, dia tak lagi sanggup bertahan.

Semula Leman masih punya harapan, dengan gelar haji, Lasmi akan beruah sikap. Dia ingin Lasmi tampil sebagai Lasmi-nya yang dulu, tapi keinginan itu hanya angan yang mustahil terwujud. Lasmi malah makin mencampakkannya, makin melupakannya.

"Las, aku 'kan suamimu. Harta yang ada pada kau sekarang adalah hartaku. Kenapa sekarang kau berisikap antipati? Kau hanya men ganggapku sebagai sampah, sebagai parasit?" Begitu dia pernah coba menuturkan sakit yang mendesak hati. Tapi apa jawab yang dia dapatkan.

Lasmi dengan tatap garang, berkacak pinggang, mengeluarkan kata- kata bagai lembing beracun yang memerihkan jantung tuanya.

"Jika kau merasa harta ini adalah hartamu, ambil saja. Bawa ke rumah Rukmi jandamu. Kalau tak betah di rumah ini, pergi saja, pulang ke rumah keponakanmu. Sudah diberi makan saja syukur, sekarang mau macam-macam lagi. Dasar lelaki tak tahu diri." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Lasmi menghempaskan pintu dan berlalu. Torehan luka itu kian dalam, meruyak hati lelakinya.

Meski begitu, dia coba tahankan, karena dia tak punya tempat lain lagi untuk pulang. Tapi itu hanya sekejap. Saat tbc kemudian menghampiri dirinya dan derak batuk yang tak henti-henti menyik sanya, di saat itu tampil adik Lasmi dengan perlakuan kasarnya. Dia diusir, bajunya dicampakkan. Masih juga dia bertahan.

Agaknya tali kasih adalah ikatan abadi antara dia dan Tari, sang adik. Itu pulalah kemudian yang menyelamatkannya. Adik perempuan satu-satunya, yang selama ini terlupakan, membawanya pulang. Pulang kembali ke rumah pusaka orang tua mereka.

Rumah yang dulu paling megah di desa mereka itu hampir roboh. Dia tak lagi punya apa-apa, selain setitik airmata, menyesali segala keteledorannya. Tapi penyesalan itu tak lagi punya makna.

Tari, dengan sisa kasihnya sebagai seorang adik merawatnya. Tapi sakit itu tak jua kunjung reda, malah makin menjadi-jadi. Pernah sekali dia menemui Rukmi, tapi wanita itu amat tegar dan angkuh. Dia tak lagi peduli pada Leman, malah untuk menatap Leman pun dia tak sudi. Teti, anak bungsunya yang dulu selalu bergayut manja, satu-satunya yang masih menemani Rukmi, juga tak mau menatapnya.

Leman turun dari rumah Rukmi dengan segala dukanya. Milik satu- satunya dan teman setianya kini, adalah airmata yang tak mampu mencuci matanya yang pelan-pelan kian mengabur.

Ketika Tari, karena sakit kemudian meninggalkannya untuk selama- lamanya, kesendirian itu makin menggigit ulu jantungnya. Rumah warisan itu pun akhirnya ambruk, dihantam pohon kelapa. Sejak itu mulailah pengembaraan lain dalam hidup Leman. Dia mendirikan pondok kecil di dekat mesjid. Di situ dia menyesali hari-harinya yang telah terbuang.

Kakinya yang mulai lumpuh, matanya yang mulai rabun, adalah harta terakhirnya yang masih dimiliki, selain nyawa. Untung masih ada yang kasihan. Ada saja orang yang mengantarkan beras atau uang sekadarnya. Hidup seperti itu telah lima tahun berjalan, dan dia rasakan dirinya makin rapuh.

Tak ada lagi Lasmi menamani tidurnya, hanya mimpi tentang Rukmi. Berjuta maaf dia mohonkan. Kerinduannya yang terakhir adalah menatap Rukmi dan enam anaknya. Minta maaf pada mereka, kemudian dia akan pasrah, sampai maut datang menjemput.

LEMAN terpana, menatap rombongan anak-anak kampung yang bersuara riuh, lewat depan pondoknya. Ketika rombongan itu kian jauh, Leman menatap hampa dan memasang telinga baik-baik, menyerap suara anak-anak yang kian lama kian sayup, lalu senyap. Leman kembali menggeser duduknya, semakin merapatkan punggung ke dind ing. Dia rasakan hari tuanya adalah sebuah siksaan yang maha berat. Adakah semua itu, karena tingkahnya yang tak bertanggung jawab.

Kerinduan aneh yang datang tanpa dapat dia cegah, makin menggila. Wajah Rukmi yang dulu, selalu berhias senyum lunak dan enak di matanya. Dan wajah Nurdin dan anaknya yang lain, menggoda hasrat dan kerinduan yang tak pernah pupus.

Dari mata yang mulai rabun itu menitik airmata. Betapa pahit karma yang harus dia terima. Dia tak tahu bagaimana Rukmi kini, dia tak tahu di mana Nurdin kini, dia juga tak tahu apakah telah ada cucu penerus keturunannya. Yang dia tahu rindu itu makin menggigit, sepi itu makin menggila. Rasanya dia tidak kuat mena han gelegak rindu. Tiba-tiba telinganya tak lagi mendengar apa- apa. Dia ingin melupakan segalanya. Pelan tapi pasti, kepala laki-laki itu terkulai. Dia tertidur, meski belum ada keinginan untuk tidur; selamanya.o

* Catatan:
* Uda = Kakak
* Encim = Kakak perempuan