PERKABUNGAN PAGI

iklan 1

iklan 1

Entri yang Diunggulkan

HILANG KE LIANG

Sajak: Luzi Diamanda Bumi meminta anaknya kembali ke pelukan hilang, ke liang.. kala cangkul meratakan tanah akhir bersama rapal doa-doa men...

PERKABUNGAN PAGI

Luzi Diamanda
Senin, 26 Juni 2023



Cerpen: Luzi Diamanda

MALAM meredupkan sinar mentari. Perlahan tapi pasti, pelangi yang telah memerahkan langit mulai memudar. Gemerisik lembut padi yang terbawa oleh angin berlalu dan menghilang ke dalam luasnya sawah. Disini, dalam kesegaran alam yang tenang ini, berdiri sebuah bangunan berbentuk L yang di cat putih dan dikelilingi oleh pagar hitam.

Disekitarnya, sejauh mata memandang, terdapat persawahan yang hijau merata. Di kejauhan, ada sebuah rel kereta api yang dari waktu ke waktu terdengar suara kereta pembawa batu bara. Di kanan dan kiri bangunan itu, ada padang rumput di antara sela-sela pepohonan. Disana ada jambu biji, mangga, belimbing dan rambutan.

Di belakang ada pohon yang rindang dan diantaranya ada kuburan. Seperti monument beton ditengah kedalamaian alam, bangunan ini memiliki kearoganan tetapi juga ketegasan. Ia menyembunyikan sesuatu, ia membuat sesuatu menghilang.

Isah, seorang wanita tua yang telah duduk di kursi kayu di luar bangunan sejak sore tadi, tidak ingin bergerak. Segala hal yang tertangkap oleh indranya ia terima dengan perlahan, seperti nafas harapan yang memudar. Penglihatannya yang kabur terfokus tepat pada pintu gerbang bangunan itu, tetapi tidak ada apa-apa disana selain ayunan padi yang digerakan oleh angin sepoi-sepoin.

Keinginannya untuk menghirup manisnya kemboja, seperti saat ketika ia masih tinggal di desa, dihancurkan oleh bau lumpur yang menyengat. Matanya yang tua mulai diselimuti air mata. Di sini, tempat yang tidak pernah dibayangkannya ketika ia masih muda, ia harus melalui hari-hari nya yang panjang, sepi dan juga menyakitkan.

Di bangunan ini, semua mimpi, harapan, dan keinginannya bahagia diusia tuanya, dikelilingi oleh anak-anak dan cucu-cucunya, telah hancur. Dia terluka dan sangat perih. Perlahan, Isah mengusap dadanya yang kurus melalui kemejanya nya yang telah usang tetapi cukup bersih. Dengan begitu, ia mencoba menghilangkan rasa sakitnya.

"Ayolah Sah, jangan sedih. Mari masuk kedalam, malam akan segera datang."

Tiur, wanita tua yang mulai renta dan tubuhnya mulai membungkuk, terhuyung-huyung menuju Isah dengan bantuan tongkat kayunya yang terbuat dari cabang pohong jambu biji.

"Aku tidak tau, yur. Apa yang bisa ku lakukan? Bagaimana aku bisa meringankan kesedihan? Aku berakhir ditempat ini, dikampung halamanku sendiri. Rasa sakit itu menghancurkan hariku."

Tiur, yang berniat untuk membawa Isah masuk, tertegun dan tertunduk. Apa perbedaan antara dia dan Isah? Dibuang ketempat yang asing, dia berada didunia yang bahkan tidak pernah ditemui nya dalam mimpi. Kerinduan lah yang menyebabkan rasa sakit. Hasrat yang menuntun kepada penyesalan berkepanjangan itu disebabkan oleh nasib atau takdir. Kerinduan menyentak itu yang mendorong hati menjadi kekosongan yang luas, ruang kosong. Semua itu merupakan perjalanan yang tidak berarti, kerja keras dan pengorbanan, ditelan sia-sia oleh waktu.

Ketika embun mulai menyebarkan dingin melalui bangku kayu, dan Isah dan Tiur masih tidak bergerak, dua perawat mendatangi mereka.

"Sudah malam, nek. Mari masuk kedalam. Kalian akan masuk angin"

Mereka memegang tangan Isah dan Tiur dan menuntun mereka kedalam untuk bergabung dengan yang lainnya dimeja makan.

"Malam ini merupakan malam yang istimewa. Ini merupakan ulang tahun nenek Pasah yang ke 68. Sore tadi kue ulang tahun datang dari anaknya yang berada di Jakarta. Sekarang kita akan berterima kasih dan berdoa bersama, lalu kita akan meniup lilin dan memotong kue."

Kalimat riang para perawat tidak mendapat kan respon. Kepala putih, yang setengahnya tertutupi syal, tertunduk. Lembut tapi jelas, terdengar isak tangis datang dari kursi paling ujung dan semakin bertambah keras.

"Nek Pasah, kau tidak bahagia dihari ulang tahun mu? Kau menangis. Kue yang dikirim putra mu tidak akan membawa keberuntungan."

"Kau tidak mengerti perasaan ku. Apa gunanya ini semua? aku rindu rumah, cucu-cucu ku. Aku ingin menggenggam cucuku."

Pasah terus mengoceh, menggurutu tentang kemalangannya. Baginya, hidup itu tidak adil. Ini adalah balasan untuk kasih sayang yang telah ia berikan kepada putranya, setelah membesarkannya. Balasannya untuk malam-malam panjang yang dia habiskan dalam tidur yang tidak pernah tenang adalah diasingkan ke dunia yang sepi dan penuh luka.

Pasah tidak akan bisa menerima alasan yang diberikan putranya sehingga mengirimnya ke tempat ini, agar seseorang akan mempedulikannya, agar ia aman, agar ia akan bahagia di hari tuanya dengan teman sebayanya. Bagi Pasah, itu semua hanyalah alasan yang digunakan putranya untuk memisahkan Pasah dari istri dan anaknya yang merupakan darah dagingnya sendiri.

"Baiklah, nek, aku mengerti. Tapi Nenek memiliki banyak teman disini. Nenek harus tenang. Jangan mengutuk putra mu, nek. Sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi padanya."

Tapi Pasah memiliki hati seorang ibu. Seperti, ketika sesuatu yang buruk terjadi pada putranya, ia merasakan luka itu sebelum putranya. Luka dan kepahitan telah terlupakan dan digantikan dengan kesedihan dan kasih sayang. Ibu seperti apa yang akan membiarkan anaknya sendiri terluka oleh waktu. Akan lebih baik untuknya, seorang ibu, menderita luka itu. Pasah memang seperti itu. Kutukannya tertelan oleh kasih sayang.

Dia tidak memiliki jawaban atas ucapan perawat tadi. Pasah terdiam, sama seperti yang lainnya. Hanya mata tua mereka yang mulai berkaca-kaca melihat kearah kue ulang tahun dengan lilin yang menyala di atasnya. Tanpa aba-aba, rencana untuk meniup lilin dan memotong kue, terbengkalai. Seorang perawat berinisiatif mematikan lilin dan memotong kue sendiri. Dia meletakkan kue itu di piring kecil untuk diopor ke semua orang. Setelah mereka berdoa bersama, para perawat menuntun mereka ke kamar masing-masing, mematikan lampu, dan menutup pintu. Hari ini, perjalanan takdir mereka diakhiri dengan tidur, nyenyak maupun tidak, tidak ada yang tau.

"Sah, kau tidur?"

Saat jam dinding menunjukkan pukul 2, suara Tiur, yang berbagi kamar dengan Isah, memecah keheningan.

"Tidak, kenapa?"

"Aku merasa kasian dengan Pasah. Bagaimana bisa putranya hanya mengirimkan kue itu dan tidak datang sendiri?"

"Itu tidak berbeda dengan kita, Yur. Anakmu, anakku, anak teman-teman kita, kapan mereka datang untuk melihat kita? sekali setahun pun tidak."

"Ketika aku berpikir tentang masa lalu, aku merasa sangat pahit. Aku harus bekerja sangat keras agar putra dan putri ku bisa menjadi sesuatu setelah ayah mereka meninggal. Aku mencuci baju orang, aku menggiling cabe di pasar, aku bekerja sebagai buruh di pabrik kayu manis. Siapa yang akan berfikir semua usaha ku akan dibalas dengan luka?"

Isah mungkin sedang berbicara atau mengeluh pada dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, Tiur tidak menjawab.

Dalam diam, di cahaya malam yang redup, Tiur melihat tangannya. Mereka berkerut, kasar, dan pembulu dasahnya seperti akan meledak. Pikirannya kembali ke masa lalu. Tiur merupakan gadis tercantik didesa. Semua lelaki menginginkannya. Terlebih lagi, Tiur merupakan anak tunggal dari keluarga kaya. Sawah mereka yang banyak dan ratusan pohon kelapa membawa uang untuk keluarganya.

Tiur akan menikahi Usman, lelaki tampan anak kepala desa, yang merupakan vendor trotoar yang sukses di jakarta. Bagi gadis-gadis di desa Tiur, menikahi lelaki yang telah berhasil di kota merupakan sebuah mimpi. Itu adalah bagaimana mereka bisa merubah nasib. Mereka akan meninggalkan desa dan pindah ke kota, ke kehidupan cemerlang yang penuh dengan aktifitas.

Pernikahannya merupakan sumber kebahagiaan dan harga diri Tiur. Usman telah memilihnya setelah melihat beberapa gadis yang dikenali kepadanya oleh orang tuanya. Ini merupakan kemenang Tiur, kemenangan atas harapan dan mimpi mereka. Setelah pernikahan, Usman membawa Tiur pergi dari desa. Air mata pedih ibunya dan kesedihan ayahnya akan kepergian Tiur membuatnya mengasihani mereka sejenak. Tapi Tiur bersembunyi dibalik takdirnya, bahwa kebanyakan gadis dari desanya harus mengikuti apa yang suami mereka kata kan dan ikut kemana pun mereka pergi.

Tapi tidak ada yang tahu apa yang ada di masa depan. Kebahagiaan Tiur hanya bertahan sampai kelahiran anak ketiga. Ketika ia hamil anak keempat, Usman berselingkuh dengan wanita jawa. Mereka menikah dan meninggalkan Tiur bersama takdirnya. Alasan Usman adalah Tiur terbiasa dengan kehidupan desa dan tidak bisa beradaptasi dengan kota. Tiur yang waktunya habis oleh anaknya, yang lahir satu setelah yang lainnya seperti tumbuhan paku, 2 dalam 3 tahun, bagi Usman telah lusuh dan orang desa berbau busuk yang tidak menarik dan tidak bisa di bawa kemana mana.

Jadi Tiur pulang ke desa, membawa dengan sakit hati, kehamilannya, ketiga anaknya, dan tidak ada uang. Setidaknya di desa ia punya rumah yang ditinggalkan orang tuanya, sawah dan beberapa tahan. Tiur tidak pernah mengira bahwa waktu yang berubah akan memusnahkan semua harapannnya. Sawah-sawahnya telah digantikan dengan dinding beton pekerja perumahan dengan gaji yang tinggi. Ladangnya telah terjual, dan rumah para pembeli sekarang berdiri di sana. Pohon-pohon kelapa sekarat. Daun-daunnya telah kering karena tidak dijaga.

Begitu ia kembali ke desanya, setiap hari Tiur menyaksikan anak-anak dari komplek perumahan bermain dimana sawahnya dulu berada. Mereka imut, memiliki baju-baju bagus dan selalu bersih. Anaknya sendiri kekurangan gizi dan kotor. Tetapi itulah hidup. Tiur merupakan penyeludup ditahan yang dimiliki orang tuanya sendiri. Ketika harapannya telah hilang, ternyata kompleks perumahan bisa memberikan penghidupan. Pada salah satu rumah, Tiur mendukung dirinya sendiri dan anaknya dengan menjadi seorang pembantu.

Tiur melupakan tentang masa lalu dan tradisi desanya. Untuk menjadi seorang pencuci, apalagi pembantu, merupakan penghinaan karena kebiasaan yang diturunkan dari generasi ke generasi, tidak peduli semiskin apapun seorang wanita, dia setidaknya memiliki harta yang cukup untuk makan. Tapi apa makna 100 pohon kelapa yang sekarat dan sawah yang ditumbuhi tanaman liar di umur ketika semuanya diukur dengan uang. Hasil dari sawah dan pohon-pohon kelapa tidak akan cukup untuk makan 3 kali sehari, apalagi sekolah anak-anak. Tiur, yang menginginkan anaknya bersekolah dan menjadi orang, dengan keinginannya untuk balas dendam ke Usman dengan menjadikan hidup mereka sukses, melanggar tradisi.

Tiur, wanita desa dari Minagkabau, dimana wanita memiliki posisi tertinggi dalam budaya dan masyarakat karena mereka memiliki hak atas harta keluarga, percaya bahwa hal paling penting saat ini adalah bekerja untuk uang demi anaknya. Tapi pada akhirnya, takdir lebih menentukan daripada mimpi dan harapan. Tiur memiliki empat anak dan dia hanyalah seorang pembantu pada akhirnya anaknya memilih jalan mereka sendiri.

Anak tertua, laki-laki, meninggalkan rumah di umur 14, dan mereka tidak pernah mendengar kabar darinya lagi. Anak ke dua, laki-laki satu lagi, bekerja di pabrik roti. Gajinya hampir tidak cukup untuk kebutuhannya sendiri. Anak ketiga meninggal di umur 8 tahun. Hanya anak bungsu yang tinggal di desa dengan Tiur. Dia mewarisi kemalangan Tiur. Suaminya meninggalkannya dengan dua anak, jadi ia mengikuti langkah Tiur dan menjadi wanita pencuci di komplek perumahan.

Seorang pekerja sosial datang untuk melihat Tiur yang sudah tidak sehat. Karena tidak ada yang merawatnya, anak perempuan Tiur setuju untuk membawanya ke panti. Dia pikir ibunya pasti akan membaik. Setidaknya, ia akan makan 3 kali sehari. Di rumah, makan 2 kali sehari merupakan boros.

"Yur, kau tidur?" Isah mengagetkan Tiur dari pikirannya.

"Tidak, aku tidak ngantuk"

"Yur, ketika kita masih kecil, kita berfikir kita ini beruntung, benar?"

"Aku tidak tau"

"Kau tau kita melakukannya, Yur. Semiskin apapun kita, kita masih memiliki sesuatu. Setidaknya sawah dan gubuk untuk tinggal. Tapi sekarang kita telah dibuang, Yur."

"Jangan dipikirkan, Sah. Itu semua di masa lalu. Dimana sawah itu sekarang? bahkan jika kita masi memilikinya, mereka akan menjadi hutan sekarang. Dan gubuk untuk tinggal, apakah kau ingin mati sendirian disana?"

"Anak kita mengirim kita ke sini karena mereka miskin, iyakan, Yur?"

"Jangan menyesali anakmu. Lihat Pasah. Kedua anaknya sukses. Aku dengan yang satu seorang dokter dan satunya lagi seorang dosen. Tapi mereka tetap mengirimnya ke sini. Pasah bilang mereka tidak suka ada dia yang mencapuri urusan mereka."

"Itu hanya sebuah alasan. Semua ibu ingin anaknya menjadi bahagia. Anak itu hanya tidak mengerti. Jika kita beri mereka nasehat, mereka bilang kita menjengkelkan."

"Yur, aku ingin mati di desa. Aku ingin di kubur disana. Tapi siapa yang bisa aku beri tau?"

"Hentikan itu, Sah. Jangan berbicara yang tidak tidak. Seperti yang lainnya, ketika kita meninggal, ada kuburan di belakang bangunan ini. Disana kita akan dikubur."

"Aku telah berasa di sini selama tiga tahun tapi tidak pernah sekali pun anakku datang untuk melihatku. Aku ingin melihat cucu ku sebelum meninggal. Aku ingin mendengar suara mereka. Aku ingin menceritakan tentang masa kecil ayah mereka. Mungkin anakku tidak pernah memberitahu istri dan anaknya bahwa mereka memiliki nenek yang merindukan dan ingin melihat mereka, huh, Yur?"

Tiur tidak merespon. Ucapan Isah menyebabkan rasa sakit yang luar biasa didadanya. Kenapa dia tidak bisa memberi pengetahuan dan harta kepada anaknya? Ketika jam menunjuk angka 3, dingin mulai menembus tulangnya, dan Tiur menutup matanya. Dia ingin tidur. Tiur yakin Isah telah tidur karena ia telah berhenti berbicara.

Dipagi hari, mereka akan melakukan rutinitas mereka. Setelah shalat Subuh, mereka akan olahraga bersama, lalu mendengarkan bacaan dari al-Qur'an. Mereka akan sarapan dan pergi melakukan aktifitas masing-masing.

Tiur mengerti. Pagi itu, Isah tidak bergerak. Dia mengguncangnya, tapi Isah hanya berbaring disana. Dia dingin, sedingin es. Teriakan panik Tiur membangunkan semua orang. Mereka beramai-ramai dikamar. Seorang perawat terburu-buru melihat Isah.

"Nek Tiur, Nenek Isah telah pergi...."

Erangan Tiur pagi itu seperti tangisan kesakitan Isah. Menusuk hati semua orang disana.

"Kepada siapa harus ku beri tahu tentang kematian mu, Sah? Kita belum melakukan apa apa untuk meringankan kerinduan yang kau bilang kepadaku semalam. Kenapa kau pergi? Kau tidak pernah memberi tau ku dimana anakmu tinggal Sah. Tidakkah mereka memberimu alamat mereka? Bangun Sah, bangun!"

"Tenang nek Tiur. Jika anak nenek Isah datang kemari, mereka akan mengetahui ibu mereka telah pergi."

Tiur jatuh terdiam dan merundukkan kepalanya. Haruskah ia mengutuk mereka? Kesendirian dan kerinduan Isah adalah miliknya jugak. Lalu semua kepala tua yang tertunduk meninggalkan kamar, meninggalkan perawat untuk mengurus tubuh Isah.

Hari ini akan ada rutinitas lain. Pemakaman yang sederhana dengan pidato yang diberikan oleh kepala panti. Mereka akan meletakkan bunga dikuburan Isah, lalu diam, keheningan yang hakiki, keheningan sejati.***