Uring-uringan meski tawa tetap menghias wajah. Hari terasa lambat, untuk sekedar mendapat sebuah kalimat; "Sudah sampai Ma.." dan penantian adalah hening yang menepis tangis. Selalu begini, dari dulu-dulu lagi.
Perempuan itu tetap dalam rutinitas, seolah tiada terjadi apa-apa, dalam jiwanya, yang terasa sendu.
Bangun subuh dan usai menunaikan kewajiban pada pencipta semesta, dia teguk segelas air putih dan sepotong pepaya. Lalu bersalin busana dengan baju olahraga dan berjalan mengitari beberapa ruas jalan dalam kota, 6 sampai 10 Km.
Kesendirian yang penuh diantara lalu lalang kendaraan yang masih sepi, hatinya mulai resah. Hari ini satu naganya akan berjalan lagi, menuju kota lainnya, untuk sebuah keperluan. Akan ada ujian, wawancara dan lainnya itu.
Perempuan itu membujuk hatinya agar diam, tenang dan tiada cemas, karena hal yang hebat untuk didapat tentu harus diperjuangkan gadisnya. Bahwa perjalan itu hal biasa dan gadisnya akan baik-baik saja.
Tapi tidak. Perasaan hatinya selalu merayu jiwa, agar cemas, agar resah, agar sendu. Hatinya selalu merayu jiwa, harusnya para naga selalu ada bersama dirinya, yang terus menua. Perasaan orang tua yang sangat egois sekali. Dia meyakini begitu.
"Jiwa, tenang sajalah. Para naga mu adalah anak kuat, mandiri dan hebat. Dia akan mempersembahkan pada mu sukses, seperti kakak-kakaknya, jadi jauhlah ragu, jauhlah sendu. Kau masih harus kuat karena kau penopang mereka, moril dan materil.'
Kasak kusuk hingga siang saat tiba saatnya mengukur jalanan dengan mionya, tetap saja jiwa bergema tak jelas. Meski dalam resah doa-doa dipanjatkan, pada pemilik nyawa, agar anak-anaknya selalu dalam lindungan dan baik-baik saja.
"Muliakanlah anak-anak ku ya Rabb, di dunia dan akhirat Mu," lirih jiwanya berbisik, bersama mata yang menghangat, meski tidak titik.
Tiba-tiba senja telah lewat saja dan sang gadis mengabari dia sudah di kereta, menuju kota lainnya. Cemas makin menggedor rasa jiwa, sukmanya serasa hampa. Ada takut. Ada khawatir.
Tengah malam nanti gadisnya akan sampai ditujuan. Dan dia sudah menyiapkan diri untuk tidak tidur sampai pemberitahuan itu datang, gadisnya sudah sampai di penginapan.
Perempuan itu meyakini bahwa dia tidak cengeng. Karena apa pun kata jiwa, dia tetap melepas para naga dengan tegar. Bahkan dulu juga dia harus melepas naganya sampai ke negeri Paman Sam untuk menimba ilmu dan dia terlihat baik-baik saja dalam air mata yang luruh, turun ke dalam rongga dada.
Malam ini, sambil mengutak atik notebook, menulis dan merangkai kata, nelangsa jiwa juga dia pendam jauh, pada sebuah titik yang orang lain tiada kan melihatnya. Sambil sesekali membaca dan membalas WA, karena perempuan itu tak ingin gadisnya sunyi sendiri di perjalanan, karena dari jauh sang ibu selalu menemani, meski hanya via WA.
"Nak, apa pun cerita hidup ku, apa pun kisah hidup ku, tiada kan menggeser sedikit pun tanggungjawab dan kasih ku pada anak-anak ku. Kalian hanya perlu melihat ke depan, melangkah tetap, menuju pulau harapan.
Tugas ku disini memenuhi segala biaya untuk kalian menuju impian. Maafkan jika aku tak sempurna. Tapi tak ada yang kuinginkan, hanya melihat kalian semua terbang tinggi, mengangkasa, dengan kisah sukses." Perempuan itu tegar saat mengucapkan kalimat tersebut kepada para naganya.
Lalu satu per satu mereka terbang tinggi, melampaui capaiannya. Dia merasa menjadi manusia paling kaya, jiwa raga, jika menyaksikan para naga penuh tawa, menggapai cita.
Dan dia rajin menuliskan kisah mereka, agar semangatnya yang membara juga memicu perempuan lain, untuk tetap pada tujuan, bertanggungjawab pada buah hati mereka, meski duka dunia merejam hati dan jiwa.
Waktu terus berlalu bersama jiwanya yang masih buncah, meski komunikasi terus terjaga. Juga dengan naga terakhirnya, yang juga sedang menunggu pengumuman, untuk bisa menyelesaikan tahap akhir tugas kuliahnya. Bercanda dan tertawa, kadang serius dan dia harus memberi petuah agar mereka tetap pada tujuan dengan raga dan hati yang kuat.
Perempuan itu sangat paham, rasa sakit terhebat dalam jiwanya adalah jika dirinya tak sanggup memenuhi apa yang jadi kebutuhan mereka, untuk pendidikan. Perempuan itu juga akan sakit sekali jika ada yang menyakiti para naganya dan dia akan tampil paling depan, untuk membela.
Dia bahkan pernah menghunus parang, mengejar lelaki yang menganggu gadisnya. Berseteru dan membuat perhitungan dengan seorang mayor, yang melukai hati gadisnya.
Bahkan tak terhitung kali dia harus berurusan dengan guru atau kepala sekolah, yang coba semena mena pada naganya. Dia kuat untuk hal tersebut. Tapi dia lemah, saat seperti malam ini, kala dia terus berdoa mengiringi perjalanan salah satu naga itu.
Padahal naga filosofinya menurut pencarian nalarnya sendiri adalah sebuah kekuatan yang mampu melambung tinggi, menerjang badai, melalui lautan dan akan menyemburkan bara apinya saat dilukai. Lalu kenapa harus resah?
Malam merangkak dan tak lama lagi akan berganti hari. Perempuan itu tak betah bersama resah, lalu memacu mionya, mencari tempat hiruk untuk membiarkan resahnya terlerai, meski itu dia yakini tiada kan sampai. Dia tetap bersama notebook dan hp, sampai kabar dimana titik terakhir naganya harus berhenti telah dicapai.**/Bersambung
Entri yang Diunggulkan
HILANG KE LIANG
Sajak: Luzi Diamanda Bumi meminta anaknya kembali ke pelukan hilang, ke liang.. kala cangkul meratakan tanah akhir bersama rapal doa-doa men...